Fakta Pengurangan Bansos PKH dan BPNT 2025: Pemerintah Lakukan Validasi Data dan Efisiensi Anggaran?

Beberapa fakta pengurangan bansos PKH dan BPNT 2025.-Foto: Tangkapan layar Youtube-
RADARCIAMIS.COM – Pemerintah secara resmi mengonfirmasi fakta pengurangan bansos PKH dan BPNT di tahun 2025.
Pengurangan ini bukan tanpa alasan, melainkan sebagai langkah penting untuk memastikan bahwa bantuan sosial benar-benar diterima oleh masyarakat yang membutuhkan.
Kementerian Sosial menegaskan bahwa setiap program bantuan, termasuk PKH dan BPNT, ditujukan sebagai “tangga” menuju kemandirian, bukan jaminan seumur hidup.
Dilansir dari kanal Pendamping Sosial, dalam salah satu video terbarunya dibahas alasan di balik berkurangnya jumlah penerima bantuan sosial.
BACA JUGA: Dapatkan Saldo DANA Gratis Rp1 Juta, Cek Link DANA Kaget Terbaru Senin Ceria Hari Ini
Salah satu penyebab utamanya adalah validasi ulang terhadap data Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui survei nasional.
Validasi data penerima bantuan sosial dilakukan lewat mekanisme Survei Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), yang mencakup berbagai aspek kehidupan KPM, seperti kepemilikan aset, kondisi pekerjaan, pendidikan hingga kesehatan.
Data tersebut lalu dipadankan dengan sistem terintegrasi dari DTKS, P3KE dan Regsosek untuk menentukan apakah penerima bantuan masih layak atau perlu dikeluarkan dari daftar.
Langkah ini sekaligus mendukung efisiensi anggaran bantuan sosial 2025. Meski anggaran Kementerian Sosial dipangkas hingga Rp 1,3 triliun, pemerintah memastikan dana bansos tetap langsung menyasar masyarakat rentan.
BACA JUGA: HP Terbaru untuk Gen Z, Baterai Tahan Lama, Desain Tipis dan Trendi: Vivo V50 Lite 5G
Artinya, dana publik digunakan lebih cermat dan tepat sasaran tanpa menambah beban anggaran negara.
Salah satu fokus utama dalam evaluasi ini adalah survei data penerima bantuan sosial di lapangan.
Pendamping sosial dari berbagai daerah ditugaskan untuk mencocokkan kondisi nyata KPM dengan data yang tersimpan dalam sistem DTSEN.
Dalam survei ini, ditemukan banyak kasus di mana penerima bantuan sosial ternyata sudah memiliki aset bernilai tinggi, seperti kendaraan bermotor dengan nilai gabungan lebih dari Rp 30 juta, kepemilikan lahan luas, hingga kontrakan.
Sumber: